Kami sempat melakukanya di awal-awal kami mengenal dakhwah ahlus
sunnah wal jama’ah karena kebodohan kami akan ilmu. Kemudian kami ingin
membagainya supaya ikhwan-akhwat bisa mengambil pelajaran dan mengingatkan
mereka yang telah lama mengenal anugrah dakwah ahlus sunnah khususnya
kami pribadi. Beberapa hal tersebut ada sepuluh berdasar pengalaman kami:
1.
Merasa
lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal
Islam yang benar.
2.
Terlalu
semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain.
3.
Kaku dalam
menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah.
4.
Keras dan
kaku dalam berdakwah.
5.
Suka
berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar.
6.
Menganggap
orang di luar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh.
7.
Berlebihan
membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/ tokoh agama tertentu.
8.
Tidak
serius belajar bahasa arab.
9.
Tidak
segera mencari lingkungan dan teman yang baik.
10. Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang
yang shalih serta tenggelam dengan kesibukan dunia.
Kemudian kami coba jabarkan satu-persatu.
1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena
sudah merasa mengenal Islam yang benar
Ketika awal-awal mengenal dakwah ahlus sunnah bisa jadi ada rasa
bangga dan sombong bahwa ia telah mendapat hidayah dan merasa ia sudah selamat
dunia-akherat. Padahal ini baru saja fase yaqzhoh [bangun
dari tidur], awal mengangkat jangkar kapal, baru akan mulai mengarungi ilmu,
amal, dakwah dan bersabar di atasnya.
Ingatlah, janganlah kita menganggap diri kita akan selamat dari dosa
dan maksiat hanya karena baru mengenal dakwah ahlus sunnah. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman,
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ
أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah
yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi rahimahullah
menukil penafsiran Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang ayat ini:
فَلَا تبرئوا أَنفسكُم من الذُّنُوب
{هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقى} من الْمعْصِيَة وَأصْلح
“Jangan kalian membebaskan diri kalian dari dosa dan Dialah yang
paling mengetahui siapa yang bertakwa/takut dari maksiat dan membuat perbaikan”
[Tanwirul Miqbaas min tafsiri Ibni Abbaas
1/447, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Libanon, Asy-Syamilah]
Seharusnya jika kita menisbatkan pada dakwah salafiyah maka ingatlah
pesan salaf [pendahulu] kita yaitu sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
لو تعلمون ذنوبي ما وطئ عقبي اثنان،
ولحثيتم التراب على رأسي، ولوددت أن الله غفر لي ذنبا من ذنوبي، وأني دعيت عبد
الله بن روثة. أخرجه الحاكم وغيره
“Kalau kalian mengetahui
dosa-dosaku maka tidak akan ada dua orang yang berjalan di belakangku dan
sungguh kalian akan melemparkan tanah di atas kepalaku, dan aku berangan-angan Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku
dan aku dipanggil Abdullah bin Kotoran.” (HR.Hakim
dalam Al-Mustadrok 3:357, no 5382, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf
7:103, no 34522dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 1: 504, no 848, shahih)
2.Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang
lain
Semua ikhwan-akhwat baru “ngaji” pasti semangat menuntut ilmu,
karena banyak ilmu agama yang selama ini mereka yakini kurang tepat dan mereka
dapatkan jawabannya dalam manhaj dakwah salafiyah yang ilmiyah. Akan tetapi ada
yang terlalu semangat menuntut ilmu sampai lupa kewajibannya. Contoh kasus:
-
Ikhwan
kuliah di kampus, ia diberi amanah oleh orang tuanya untuk belajar di kota A,
menyelesaikan studinya, pulang membawa gelar dan membahagiakan keduanya. Kedua
orang tua bersusah payah membiayainya. Akan tetapi ia sibuk belajar agama di
sana – di sini dan lalai dari amanah orang tua yang WAJIB juga ditunaikan.
Nilainya hancur dan terancam Drop Out. Tentu saja
orang tuanya bertanya-tanya dan malah menyalahkan dakwah salafiyah yang ia
anut. Ia pun tidak menjelaskan dengan baik-baik kepada kedua orang tuanya.
-
Seorang
suami yang sibuk menuntut ilmu agama dan menelantarkan istri dan anaknya.
Melakukan safar tholabul ilmi ke berbagai daerah, langsung membeli
kitab-kitab yang banyak dan mahal. Padahal ia agak kesusahan dalam ekonomi dan
tidak memberikan pengertian kepada istri dan anak-anaknya.
Kita
seharusnya memperhatikan firman Allah:
وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS.
Al-An’am: 141). Artinya, mempelajari ilmu juga harus bisa memperhatikan
kewajiban lainnya, yaitu kewajiban bakti pada orang tua dan memberi nafkah pada
keluarga. Dan jika kita perhatikan, orang-orang seperti ini hanya [maaf]
“panas-panas tahi ayam”. Semangat hanya beberapa bulan saja setelah itu kendor
bahkan futur [malas dan jenuh].