“Akh,
ana lebih senang bergaul dengan ikhwan yang akhlaknya baik walaupun sedikit
ilmunya”. [SMS seorang ikhwan]
“Kok
dia suka bermuka dua dan dengki sama orang lain, padahal ilmunya masyaAlloh,
saya juga awal-awal “ngaji” banyak tanya-tanya agama sama dia”. [Pengakuan
seorang akhwat]
“Ana
suka bergaul dengan akh Fulan, memang dia belum lancar-lancar amat baca kitab
tapi akhlaknya sangat baik, murah senyum, sabar, mendahulukan orang lain, tidak
egois, suka menolong dan ana lihat dia sangat takut kepada Alloh, baru
melihatnya saja, ana langsung teringat akherat”. [Pengakuan seorang
ikhwan]
Mungkin
fenomena ini kadang terjadi atau bahkan sering kita jumpai di kalangan penuntut
yang sudah lama “ngaji”1 . Ada yang telah ngaji 3 tahun atau 5 tahun
bahkan belasan tahun tetapi akhlaknya tidak berubah menjadi lebih baik bahkan
semakin rusak. Sebagian dari kita sibuk menuntut ilmu tetapi tidak berusaha
menerapkan ilmunya terutama akhlaknya. Sebaliknya mungkin kita jarang melihat
orang seperti dikomentar ketiga yang merupakan cerminan keikhlasannya dalam
beragama meskipun nampaknya ia kurang berilmu dan. semoga tulisan ini menjadi
nasehat untuk kami pribadi dan yang lainnya.
Akhlak adalah salah satu tolak ukur iman dan tauhid
Hal
ini yang perlu kita camkan sebagai penuntut ilmu agama, karena akhlak adalah
cerminan langsung apa yang ada di hati, cerminan keikhlasan dan penerapan ilmu
yang diperoleh. Lihat bagimana A’isyah rodhiallohu ‘anha mengambarkan
langsung akhlak Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
merupakan teladan dalam iman dan tauhid, A’isyah rodhiallohu ‘anha
berkata,
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak
beliau adalah Al-Quran” [HR. Muslim no. 746, Abu Dawud no. 1342 dan Ahmad
6/54]
Yang
berkata demikian Adalah A’isyah rodhiallohu ‘anha, Istri yang paling
sering bergaul dengan beliau, dan perlu kita ketahui bahwa salah satu barometer
ahklak seseorang adalah bagaimana akhlaknya dengan istri dan keluarganya.
Rasulolluh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ
لِأَهْلِي
“Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling
baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” [H.R. Tirmidzi
dan beliau mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Ibnu
Hibban dan Al-Albani menilai hadits tersebut sahih].
Akhlak
dirumah dan keluarga menjadi barometer karena seseorang bergaul lebih banyak
dirumahnya, bisa jadi orang lain melihat bagus akhlaknya karena hanya bergaul
sebentar. Khusus bagi suami yang punya “kekuasaan” atas istri dalam rumah
tangga, terkadang ia bisa berbuat semena-mena dengan istri dan keluarganya
karena punya kemampuan untuk melampiaskan akhlak jeleknya dan hal ini jarang
diketahui oleh orang banyak. Sebaliknya jika di luar rumah mungkin ia tidak
punya tidak punya kemampuan melampiaskan akhlak jeleknya baik karena statusnya
yang rendah (misalnya ia hanya jadi karyawan rendahan) atau takut dikomentari
oleh orang lain.
Dan
tolak ukur yang lain adalah takwa sehingga Rosululloh shallallahu ‘alaihi
wa sallam menggabungkannya dengan akhlak, beliau bersabda,
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ
السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah
kepada Allah di mana saja engkau berada. Iringilah kejelekan dengan kebaikan
niscaya ia akan menghapuskan kejelekan tersebut dan berakhlaklah dengan manusia
dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5/153. Abu ‘Isa
At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rohimahullohu menjelaskan hadist ini,
“Barangsiapa
bertakwa kepada Alloh, merealisasikan ketakwaannya dan berakhlak kepada manusia
-sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka- dengan akhlak yang baik, maka ia
medapatkan kebaikan seluruhnya, karena ia menunaikan hak hak Alloh dan
Hamba-Nya. [Bahjatu Qulubil Abror hal 62, cetakan pertama, Darul
Kutubil ‘ilmiyah]
Demikian
pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ اَلْجَنَّةَ تَقْوى اَللَّهِ
وَحُسْنُ اَلْخُلُقِ
”Yang
paling banyak memasukkan ke surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia”
(HR At-Tirmidzi, Ibnu Maajah dan Al-Haakim dan dihasankan oleh Syaikh
Al-Albani)
Tingginya ilmu bukan
tolak ukur iman dan tauhid
Karena
ilmu terkadang tidak kita amalkan, yang benar ilmu hanyalah sebagai
wasilah/perantara untuk beramal dan bukan tujuan utama kita. Oleh karena itu
Alloh Azza wa Jalla berfirman,
جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sebagai balasan bagi apa yang
telah mereka kerjakan.” [Al-Waqi’ah: 24]
Alloh
TIDAK berfirman,
جَزَاء بِمَا كَانُوا يعَلمُونَ
“Sebagai
balasan apa yang telah mereka ketahui.”
Dan
cukuplah peringatan langsung dalam Al-Qur’an bagi mereka yang berilmu tanpa
mengamalkan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا
لَا تَفْعَلُونَْ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
”Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan hal yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian Allah
bahwa kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan.” (QS.Ash-Shaff :
3)
Dan bisa jadi Ilmunya tinggi
karena di karuniai kepintaran dan kedudukan oleh Alloh sehingga mudah memahami,
menghapal dan menyerap ilmu.
Ilmu
Agama hanya sebagai wawasan ?
Inilah
kesalahan yang perlu kita perbaiki bersama, sebagian kita giat menuntut ilmu
karena menjadikan sebagai wawasan saja, agar mendapat kedudukan sebagai seorang
yang tinggi ilmunya, dihormati banyak orang dan diakui keilmuannya. Kita perlu
menanamkan dengan kuat bahwa niat menambah ilmu agar menambah akhlak dan amal
kita.
Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Salah
satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin
bertambah ilmunya maka semakin bertambah juga tawadhu’ dan kasih
sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut
dan waspadanya.” [Al-Fawa’id hal 171, Maktabah Ast-Tsaqofiy]
Sibuk belajar ilmu fiqh dan Ushul, melupakan ilmu akhlak dan
pensucian jiwa
Yang
perlu kita perbaiki bersama juga, sebagian kita sibuk mempelajari ilmu fiqh, ushul
tafsir, ushul fiqh, ilmu mustholah hadist dalam rangka
memperoleh kedudukan yang tinggi, mencapai gelar “ustadz”, menjadi rujukan
dalam berbagai pertanyaan. Akan tetapi terkadang kita lupa mempelajari ilmu
akhlak dan pensucian jiwa, berusaha memperbaiki jiwa dan hati kita, berusaha
mengetahui celah-celah setan merusak akhlak kita serta mengingat bahwa salah
satu tujuan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus adalah
untuk menyempurnakan Akhlak manusia.
Rosululloh
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ”
“Aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.” [H.R. Al-Hakim dan dinilai sahih oleh
beliau, adz-Dzahabi dan al-Albani].
Ahlak yang mulia juga termasuk dalam masalah aqidah
Karena
itu kita jangan melupakan pelajaran akhlak mulia, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah memasukkan penerapan akhlak yang mulia dalam permasalahan
aqidah. Beliau berkata,
“Dan
mereka (al-firqoh an-najiah ahlus sunnah wal jama’ah) menyeru kepada
(penerapan) akhlak yang mulia dan amal-amal yang baik. Mereka meyakini
kandungan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yang paling
sempuna imannya dari kaum mukminin adalah yang paling baik akhlaknya diantara
mereka“. Dan mereka mengajakmu untuk menyambung silaturahmi dengan orang
yang memutuskan silaturahmi denganmu, dan agar engkau memberi kepada orang yang
tidak memberi kepadamu, engkau memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu,
dan ahlus sunnah wal jama’ah memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang
tua, menyambung silaturahmi, bertetangga dengan baik, berbuat baik kepada
anak-anak yatim, fakir miskin, dan para musafir, serta bersikap lembut kepada
para budak. Mereka (Ahlus sunnah wal jama’ah) melarang sikap sombong
dan keangkuhan, serta merlarang perbuatan dzolim dan permusuhan terhadap orang
lain baik dengan sebab ataupun tanpa sebab yang benar. Mereka memerintahkan untuk berakhlak yang
tinggi (mulia) dan melarang dari akhlaq yang rendah dan buruk”. [lihat Matan
'Aqiidah al-Waashithiyyah]
Bagi yang sudah “ngaji”
Syaitan lebih mengincar akhlak bukan aqidah
Bagi
yang sudah “ngaji”, yang notabenenya insyaAlloh sudah mempelajari ilmu
tauhid dan aqidah, mengetahui sunnah, mengetahui berbagai macam maksiat, tidak
mungkin syaitan mengoda dengan cara mengajaknya untuk berbuat syirik, melakukan
bid’ah, melakukan maksiat akan tetapi syaitan berusaha merusak Akhlaknya.
Syaitan berusaha menanamkan rasa dengki sesame saudara muslim, hasad, sombong,
angkuh dan berbagai akhlak jelak lainnya.
Syaitan
menempuh segala cara untuk menyesatkan manusia, tokoh utama syaitan yaitu Iblis
berikrar untuk hal tersebut setelah Alloh azza wa jalla menghukumnya dan
mengeluarkannya dari surga, maka iblis menjawab:
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ
صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَْ ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ
خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ
شَاكِرِينَ
“Karena
Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan(menghalang-halangi
mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian aku akan datangi mereka dari muka
dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A’raf: 16-17)
Kita butuh teladan
akhlak dan takwa
Disaat
ini kita tidak hanya butuh terhadap teladan ilmu tetapi kita lebih butuh
teladan ahklak dan takwa, sehingga kita bisa melihat dengan nyata dan mencontoh
langsung akhlak dan takwa orang tersebut terutama para ustadz dan syaikh.
Yang
perlu kita camkan juga, jika menuntut ilmu dari seseorang yang pertama kali
kita ambil adalah akhlak dan adab orang tersebut baru kita mengambil ilmunya.
Ibu Imam Malik rahimahullahu, sangat paham hal ini dalam mendidik
anaknya, beliau memperhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Imam
Malik rahimahullahu mengisahkan:
“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ ‘Kemarilah!’
kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan
meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah
itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah
mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah
adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’. (Waratsatul Anbiya’,
dikutip dari majalah Asy Syariah No. 45/IV/1429 H/2008, halaman 76 s.d. 78)
Kemudian pada komentar ketiga,
“Baru melihatnya saja, ana
langsung teringat akherat”
Hal inilah yang kita harapkan,
banyak teladan langsung seperti ini. Para ulama pun demikian sebagaimana Ibnul
Qoyyim rahimahullahu berkata,
“Kami (murid-murid Ibnu
Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam
diri kami prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan
hidup, kami mendatangi beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan
mendengarkan ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan
berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” [Al
Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Maktabah Syamilah]
Sudah lama “ngaji” tetapi kok susah sekali memperbaiki
Akhlak?
Memang
memperbaiki Akhlak adalah hal yang tidak mudah dan butuh “mujahadah”
perjuangan yang kuat. Selevel para ulama saja membutuhkan waktu bertahun-tahun
untuk memperbaiki akhlak.
Berkata
Abdullah bin Mubarak rahimahullahu :
طلبت الأدب ثلاثين سنة وطلبت العلم عشرين سنة كانوا
يطلبون الأدب ثم العلم
“Saya
mempelajari adab selama 30 tahun dan saya mempelajari ilmu (agama) selama 20
tahun, dan ada-lah mereka (para ulama salaf) memulai pelajaran mereka dengan
mempelajari adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu”. [Ghayatun-Nihayah fi
Thobaqotil Qurro I/446, cetakan pertama, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Maktabah
Syamilah]
Dan
kita tetap terus menuntut ilmu untuk memperbaiki akhlak kita karena ilmu agama
yang shohih tidak akan masuk dan menetap dalam seseorang yang mempunyai jiwa
yang buruk.
Imam
Al Ghazali rahimahullahu berkata,
“Kami
dahulu menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan
kecuali hanya karena Allah ta’ala.” [Thabaqat Asy Syafi’iyah, dinukil
dari tulisan ustadz Kholid syamhudi, Lc, majalah Assunah].
Jadi
hanya ada kemungkinan ilmu agama tidak akan menetap pada kita ataupun ilmu
agama itu akan memperbaiki kita. Jika kita terus menerus menuntut ilmu agama
maka insyaAlloh ilmu tersebut akan memperbaiki akhlak kita dan pribadi kita.
Mari
kita perbaiki akhlak untuk dakwah ya ikhwan wal akhwatti fillah…
“orang
salafi itu ilmunya bagus, ilmiah dan masuk akal tapi keras dan mau menang
sendiri” [pengakuan seseorang kepada penyusun]
Karena
akhlak buruk, beberapa orang menilai dakwah ahlus sunnah adalah dakwah yang
keras, kaku, mau menang sendiri, sehingga beberapa orang lari dari dakwah dan
menjauh. Sehingga dakwah yang gagal karena rusaknya ahklak pelaku dakwah itu
sendiri. Padahal rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mudahkan dan jangan
mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” [HR.
Bukhari, Kitabul ‘Ilmi no.69]
Karena Akhlak yang buruk pula
ahlus sunnah berpecah belah, saling tahzir, saling menjauhi, yang setelah
dilihat-lihat, sumber perpecahan adalah perasaan hasad dan dengki, baik antar
ustadz ataupun antar muridnya. Dan kita patut berkaca pada sejarah
bagaimana Islam dan dakwah bisa berkembang karena akhlak pendakwahnya yang
mulia.
Jangan lupa berdoa agar
akhlak kita menjadi baik
Dari
Ali bin Abi Thalib Rodhiallahu ‘anhu bahwa Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam salah satu do’anya beliau mengucapkan:
“Ya Alloh, tunjukkanlah aku pada akhlak
yang paling baik, karena tidak ada yang bisa menunjukkannya selain Engkau. Ya
Alloh, jauhkanlah aku dari akhlak yang tidak baik, karena tidak ada yang mampu
menjauhkannya dariku selain Engkau.” (HR. Muslim 771, Abu Dawud 760,
Tirmidzi 3419)
Dan doa dijauhkan dari akhlak yang
buruk,
“Ya Alloh, aku berlindung kepadamu dari
akhlak, amal dan hawa nafsu yang mungkar” (HR. Tirmidzi no. 3591,
dishohihkan oleh Al-Albani dalam Dzolalul Jannah: 13)
Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.
Walamdulillahi robbil ‘alamin.
Artikel www.muslim.or.id
[1] ngaji: istilah yang ma’ruf, yaitu seseorang
mendapat hidayah untuk beragama sesuai dengan Al-Qur’an dan As-sunnah dengan
pemahaman salafus shalih, istilah ini juga identik dengan penuntut ilmu agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar