(Oleh: Prof. Dr. Shalih As-Sadlan)
Wanita merupakan bagian dari elemen masyarakat. Sehingga secara
otomatis, mereka juga memiliki andil dan tugas dalam menata dan
memperbaiki masyarakat. Tidak ada keraguan lagi, untuk melaksanakan
tanggung jawab dalam membina diri sendiri dan masyarakat, mutlak
membutuhkan ilmu. Konsekuensinya, kaum wanita juga harus memiliki ilmu
untuk menjalankan tanggung-jawab tersebut. Karenanya, ia bertanggung
jawab penuh dalam pelaksanaan ibadah shalatnya, ibadah puasanya,
pembayaran zakatnya, ibadah hajinya, usaha pemurnian aqidahnya,
aktifitas amar ma’ruf nahi munkar dan semangat berlomba dalam setiap
kebaikan. Ringkasnya, seluruh kandungan risalah Islam yang termaktub
dalam Al-Qur`ân maupun Hadits tentang kewajiban seorang muslim, memiliki
makna bahwa wanita juga berkewajiban untuk mempelajari dan
mengajarkannya, baik secara teori maupun dalam amaliah nyata.
Semua orang telah memahami bahwa ajaran Islam memuat unsur ibadah,
qiyâdah (penataan), siyâsah (pembinaan masyarakat) dan sosial
kemasyarakatan, ekonomi dan semua sendi kehidupan. Untuk menelaah dan
mendalami semua itu, tidak begitu saja bisa diperoleh tanpa usaha. Namun
harus dengan upaya pembelajaran dan berguru. Karenanya, mempelajari
ajaran Islam –sebuah agama yang mempunyai cakupan ilmu yang luas,
integral, mendalam lagi beragam– menjadi suatu kewajiban bagi setiap
muslim dan muslimah. Sehingga tidak mengherankan apabila Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim”.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim”.
Namun kenyataannya, ada saja yang berkomentar dengan sekedar
bersandar pada tekstual hadits belaka tentang hukum wanita menuntut ilmu
adalah nâfilah (sunnat) semata dan bukan wajib. Padahal sebenarnya kata
“muslim” dalam hadits di atas bermakna orang yang telah beriman kepada
risalah Islam baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Sehingga
penakwilan semacam itu merupakan pemaknaan yang tidak benar. Oleh karena
itu, Islam menaruh perhatian yang khusus pada pendidikan dan ilmu
syar’i yang bermanfaat bagi mereka.
Bagi yang memperhatikan risalah Islam yang dibawa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pastilah ia bisa mengetahui bahwa Islam
dengan seluruh kandungan perintah dan larangannya, tidak dibatasi hanya
untuk kalangan kaum Adam saja. Akan tetapi, kaum Hawa juga menjadi
bagian dari perintah dan larangan risalah tersebut. Semua nash dalam
al-Kitab dan as-Sunnah memberikan penjelasan adanya kesamaan kewajiban
antara laki-laki dengan perempuan dalam semua hal, kecuali beberapa hal
saja yang memang sudah menjadi kekhususan masing-masing. Bahkan terdapat
dalil yang jelas menerangkan beban syariat yang secara khusus hanya
diarahkan kepada kaum wanita, sebagaimana tertera dalam Al-Qur’ân:
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu)” [al-Ahzâb/33:34].
Begitu pula yang dikatakan Ibnu ‘Abbas dalam menafsirkan ayat:
وقلن قولأ معر فا
“(dan ucapkanlah perkataan yang baik – al-Ahzâb/33 ayat 32)”, maksudnya, perintahkan kepada mereka untuk ikut serta beramar ma’ruf nahi munkar.
وقلن قولأ معر فا
“(dan ucapkanlah perkataan yang baik – al-Ahzâb/33 ayat 32)”, maksudnya, perintahkan kepada mereka untuk ikut serta beramar ma’ruf nahi munkar.
Maka, di antara peran terpenting bagi para wanita yang berkiprah di
medan dakwah, yaitu mengajarkan ilmu syar’i, memberikan pengarahan dan
bimbingan, dan melakukan tarbiyah dan pembinaan. Terlebih lagi dalam
menangani urusan rumah tangga dan urusan suami, ia sama halnya dengan
seorang wanita yang bergerak dalam aktifitas-aktifitas dakwah, secara
tidak langsung memiliki peran penting melalui tutur-tutur katanya yang
tertulis maupun terekam. Dengan itu, ia telah mengerahkan tenaga dan
pikiran sebagai sumbangsihnya bagi agamanya.
Perlu diketahui, semenjak awal Islam, sudah terdapat perintah untuk
memberikan pengajaran kepada para perempuan tentang ilmu-ilmu syar’i.
Meski, pada beberapa keadaan ada yang menentang masalah ini. Namun perlu
digarisbawahi, penolakan tersebut sesungguhnya pada persoalan
mempelajari syair-syair yang mengandung unsur amoral, ilmu filsafat,
atau mempelajari perkara-perkara yang mengakibatkan ikhtilâth
(bercampurnya) antara laki-laki dengan perempuan. Akan tetapi, apabila
yang dipelajari adalah ilmu syar’i yang jelas bermanfaat, maka tiada
larangan di dalamnya. Bahkan terdapat anjuran untuk mendalaminya, karena
ilmu syar’i tersebut bisa membenahi jiwanya, moralnya, dan perasaannya
melalui aqidah yang shahîh, pedoman-pedoman agama yang luhur dan
pengetahuan-pengetahuan yang akan menerangi akalnya dan memperkuat
pendiriannya dalam menghadapi urusan-urusan duniawi.
TIDAK ADA PERBEDAAN UNTUK BELAJAR ANTARA LELAKI DAN WANITA
Begitulah, tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan
dalam masalah mencari ilmu. Siapa saja, muslim dan muslimah yang enggan
mempelajari hukum-hukum agama, cara berhubungan dengan Rabbnya, enggan
mempelajari cara pembinaan jiwa, norma sosial, inti moral dan tata krama
kehidupan, maka ia telah terjerumus dalam dosa karena meremehkan
ilmu-ilmu tersebut. Yang berarti dia pun telah menyodorkan dirinya pada
kehidupan nista karena keterlambatan dalam menggapai dunia dan akhirat.
Padahal semua itu merupakan ilmu yang bermanfaat, dan akan membebaskan
seseorang dari kebodohan dan ketidakpekaan pada kebenaran, serta
menghindarkannya dari sekedar orientsi keduniaan semata.
MEREKA TELAH MAJU
Dalam konteks kesetaraan derajat wanita dan lelaki dalam mendapatkan
ilmu ini, sungguh tidak ada yang lebih membuktikannya daripada
keberadaan wanita muslimah dalam naungan Islam. Mereka telah mencapai
derajat yang tinggi dalam keilmuan.
Lihatlah para sahabiyyah (sahabat wanita), mereka semangat
mengerjakan shalat jamaah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
masjid, sepaya bisa memperoleh pengejaran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Padahal semua bersepakat tanpa ada perbedaan pendapat, bahwa
seorang wanita melaksanakan shalat di rumah, itu lebih afdhal daripada
shalat di masjid. Kemudian, dikarenakan jumlah mereka banyak, akhirnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan sebuah pintu
masjid bagi mereka hingga sampai sekarang ini di masjid Nabawi, yang
diberi nama “Babun Nisaa’”, artinya pintu khusus untuk para wanita.
Al-Baladzuri menyebutkan dalam kitab Fûhul Buldân: “Jumlah wanita
muslimah terdahulu yang mempelajari baca tulis adalah separo jumlah
laki-laki yang mampu baca tulis.” Al-Baladzuri juga menceritakan
bahwasanya Ummu Kultsûm binti ‘Uqbah cakap dalam menulis.
Diriwayatkan bahwa asy-Syifâ` al-Adawiyah dari Bani (Suku) ‘Adi,
keluarga besar ‘Umar bin Khaththâb diminta Nabi untuk mengajarkan kepada
istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Ummul-Mukminiin
Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb cara menulis indah.
Ummul-Mukminiin ‘Aisyah binti Abi Bakar dan Ummul-Mukminîn Ummu
Salamah juga memiliki kemampuan membaca, walaupun belum sampai pada
derajat mahir dalam menulis. Al-Wâqidi menyebutkan bahwa Karîmah binti
al-Miqdâd bisa membaca dan menulis.
‘Aisyah binti Sa’ad berkata: “Ayahku telah mengajarkan kepadaku tulis-menulis”.
Begitu pula dalam hal pengajaran, para wanita sahabiyyah juga mampu
berkompetisi dengan kaum laki-laki. Misalanya, seperti halnya ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan kurang lebih dua ribu hadits,
begitu pula saudarinya yang bernama Asma’ juga telah meriwayatkan
sekitar 50 hadits. Dan masih banyak lagi di antara muslimah sahabiyyah
selain keduanya yang banyak meriwayatkan banyak hadits dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ummu Darda yang dikaruniai ilmu pernah berkata: “Sungguh aku telah
merasakan dan menjalankan berbagai macam ibadah, namun yang paling bisa
merasuk dan menyembuhkan jiwaku ialah tatkala duduk dan dzikir di
hadapan para ulama”.
Imam Nawawi sendiri mengakui kefaqihan Ummu Darda` ini dengan
pujiannya: “Semua telah bersepakat tentang kefaqihan dan kehebatan Ummu
Darda` dalam hal pemikiran dan pemahaman. Beliau Radhiyallahu ‘anhuma
hidup pada masa Mu’awiyyah”.
Demikianlah, Islam tidak melarang para wanita untuk belajar agama.
Tidak mengapa bagi para wanita untuk mencari jalan kemajuan bagi
dirinya. Bahkan para ahlu ilmi dan ahli fiqh zaman terdahulu maupun
sekarang sepakat, bahwa menuntut ilmu syar’i yang menjadi kebutuhan
pokok adalah fardhu ‘ain atas mereka. Tidak ada perbedaan antara
laki-laki dengan perempuan dalam hal ini. Laki-laki dan perempuan
kedudukan yang sama dalam kewajiban bersyariat, dan begitu pula dalam
mendapatkan balasan di akhirat, kecuali dalam beberapa aturan syariat
tertentu, Allah Subhanahu wa Ta’ala membebaskan kaum wanita dari tugas
tersebut. Baik, karena aturan-aturan itu mengandung unsur yang
memberatkan wanita dalam menjalankannya, atau karena memang tidak sesuai
dengan tabiat wanita, atau lantaran bertentangan dengan tugas utama
penciptaannya, atau mengakibatkan kerusakan sosial seperti seperti
ikhtilâth (percampuran antara laki-laki dan perempuan) dan lain-lain.
Adapun aturan-aturan agama lainnya, wanita memiliki kesamaan dengan kaum
lelaki dalam mengemban kewajiban-kewajiban dan aturan-aturan syariat.
Ada satu riwayat, bahwasanya Asma` binti Yazid bin Sakan Radhiyallahu
‘anha pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari
berkata: “Aku adalah seorang utusan dari orang-orang yang berada di
belakangku dari sejumlah wanita muslimah. Semuanya berkata dan
berpendapat seperti perkataan dan pendapatku sekarang ini, ‘Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutusmu untuk kalangan laki-laki dan
perempuan’. Kami semua juga telah beriman dan dan berittiba`
(mengikuti) kepadamu. Namun kami –para wanita- memiliki gerak terbatas,
menjadi pihak yang menangani urusan rumah tangga belaka. Sedangkan kaum
laki-laki bisa memperoleh keutamaan yang sangat banyak dengan menunaikan
shalat berjama’ah, ikut mengiringi jenazah dan bisa berangkat jihad.
Tatkala mereka pergi berjihad, maka kamilah yang menjaga harta-harta dan
merawat anak-anak mereka. Maka, apakah kami juga dapat menuai pahala
yang sama dengan mereka, wahai Rasulullah?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada para sahabat,
seraya berseru: “Apakah kalian pernah mendengar pertanyaan seorang
wanita tentang agamanya yang lebih baik daripada pertanyan wanita ini?”
Para sahabat Radhiyallahu ‘anhum menjawab: “Belum pernah, wahai Rasulullah.”
Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Pulanglah
engkau wahai Asma`, dan beritahukan kepada para wanita di belakangmu
bahwa baiknya perlakuan salah seorang dari kalian kepada suaminya,
semangatnya dalam mencari keridhaan (suami)nya dan terus mengikuti
keinginan suaminya, maka pahala itu semua sama dengan apa engkau
sebutkan tadi (tentang keutamaan kaum lelaki yang berpahala besar)”.
Kemudian Asma`pulang sambil mengucapkan tahlil dan takbir dengan
penuh kegembiraan mendengar jawaban dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
JANGAN TERPEDAYA OLEH PROPAGANDA BARAT
Namun ironisnya pada abad-abad terakhir ini, kaum wanita terhalang
untuk mencari ilmu. Sehingga ketidaktahuannya tentang agama menimbulkan
dampak kemunduran dan keterbelakangan kaum muslimin. Ibu-ibu yang tidak
memiliki ilmu akan melahirkan anak-anak yang bodoh dan lemah akal.
Seorang penyair melantunkan:
وَإِذَ النِّسَاءُ نَشَأَتْ فِيْ أُمِّيَةٍ رَضَعَ الرِّجَالُ جَهَالَةُ وَخُمُولاً
Apabila wanita tumbuh dalam kebodohan,
maka kaum laki-laki menelan kebodohan dan kelemahan.
Seorang penyair melantunkan:
وَإِذَ النِّسَاءُ نَشَأَتْ فِيْ أُمِّيَةٍ رَضَعَ الرِّجَالُ جَهَالَةُ وَخُمُولاً
Apabila wanita tumbuh dalam kebodohan,
maka kaum laki-laki menelan kebodohan dan kelemahan.
Oleh karenanya, termasuk kemajuan yang terpuji, yakni dengan
dibukanya pintu pendidikan bagi remaja putri dan meningkatnya
istri-istri dan ibu-ibu yang membekali diri dengan ilmu syar’i di tengah
masyarakat. Sehingga tidak menimbulkan kebimbangan dalam masalah hukum
agama pada seorang pun.
Adapun ilmu yang wajib dimengerti oleh setiap muslim dan muslimah,
ialah ilmu-ilmu agama yang terpenting (dharuuri). Bukan ilmu yang
mengandung unsur kedustaan yang dipropagandakan oleh orang-orang yang
berkiblat ke negeri Barat dan para penyeru kebebasan mutlak, pencampakan
rasa malu dan melakukan tindakan amoral dengan mengatasnamakan
mencerdaskan otak. Mereka menamakan tarian, belajar nyanyian, musik,
drama, film dan sandiwara sebagai ilmu. Begitu pula segala yang bisa
menjadi pintu kerusakan wanita, entah bersumber dari budaya Barat atau
Timur sebagai ilmu yang harus dipelajari.
Itu semua merupakan propaganda dusta dan perbuatan negatif yang
meruntuhkan aspek kejujuran, nilai-nilai kebenaran dan ilmu yang shahîh.
Adakah korelasi antara pendidikan dan kaum wanita dengan tabarruj
(bersolek), pamer kecantikan dan berjalan di jalanan tanpa arah dan
tujuan layaknya wanita telanjang? Apakah aurat yang tersingkap dan
pakaian sempit, transparan lagi memperlihatkan lekuk tubuh secara nyata
merupakan sarana untuk memudahkan ilmu mudah untuk dipahami? Apakah
hubungan itu semua dengan perolehan ilmu?
Sungguh termasuk kesalahan fatal yang paling mendasar, yakni
mengadopsi budaya dari dunia Barat maupun Timur yang baik -kalau ada-
atau buruk tanpa seleksi dan pemilahan. Padahal, budaya yang pantas bagi
mereka belum tentu pantas untuk kita. Sebab, ajaran agama kita
bertentangan dengan kebiasan mereka. Dan gaya hidup kita tidak selaras
dengan kebiasaan mereka.
Adapun mengikut di belakang propaganda kebebasan dan berpartisipasi
di belakang kepalsuan-kepalsuan, hanya akan menyeret kita pada musibah
demi musibah, kehinaan, dan kehilangan jati diri serta kehancuran.
Semoga Allah mengentaskan setiap muslimah dari lumpur kemaksiatan.
Membimbing mereka di atas jalan yang lurus dan bisa kembali di atas
aqidah shahiihah, bimbingan dan arahan-Nya, hingga mereka semua bisa
mengeyam kebahagiaan di dunia dan akhIrat.
Walhamdulillahi Rabbil ‘Âlamîn.
[Diterjemahkan secara bebas oleh Ustad Abu Ziyaad Agus Santoso dari
makalah Prof. Dr. Shâlih as-Sadlân, Majalah al-Ashâlah, Edisi 29, Tahun
V, 15 Sya'ban 1421 H]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar